RIBATH NURUL HIDAYAH

KUMPULAN HASIL BAHTSUL MASAIL

Kamis, 05 November 2009

Permasalahan Seputar Perempuan dan Pernikahan

1. Dalam suatu adat pesta perkawinan,penganten putra dan putri dirias sedemikian rupa dengan memakai beraneka ragam baju secara berganti-ganti.Kedua mempelai tersebut di pajang beberapa lama di tempat yang di lihat oleh para hadirin,baik laki-laki maupun perempuan.

Pertanyaan:

  1. Bolehkah hukumnya memperlihatkan penganten yang dirias sedemikian rupa untuk diperlihatkan kepada semua hadirin baik lelaki atau pun perempuan?
  2. Bolehkah pengantin pria di rias oleh seorang ahli tata rias wanita?

Jawaban:

  1. Haram,kecuali kepada orang yang diperbolehkan melihatnya.
  2. Haram mutlaq (dengan cara apapun).

Maraji’: (Al bajuri II/97,Is’adur Rafiq,II/65,Hamisy Asyarwani VII/201)

2. Adakah dalil yang memperbolehkan seorang anak menjadi wali ibunya sendiri?

Jawaban :

Ada, pendapat Imam Muzani dari golongan Syafiiyah, namun pendapat Imam Muzani selalu dianggap pendapat lemah dalam kelompok madzhab Syafiiyah, atau dari pendapat Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad Ibn Hanbal.

“(Tidak bisa anak dengan sifatnya menjadi anak menikahkan) berbeda dengan pendapat Imam Muzani, sebagaimana Imam yang Tiga (Malik, Abu Hanifah, Ahmad) karena tidak adanya persekutuan nasab diantara keduanya (ibu dan anak) maka tidaklah bisa anak dengan sesungguhnya menyerahkan tubuh ibunya karena itu pula saudara tidak dapat menikahkan seorang ibu.”

Maraji’: Nihayatul Muhtaj Juz 6 Halaman 232

3. Bagaimana hukum membayangkan wanita lain ini dalam hubungan badan dengan istri, atau sebaliknya si istri membayangkan lelaki lain? Dan saya pernah mendengar keterangan, bahwa jika ingin mendapatkan anak sholeh atau ganteng misalnya, maka hendaknya ketika hubungan dengan istri, membayangkan orang yang sholeh atau orang yang ganteng. Benarkah hal ini?

Jawaban:

Akhi Tamkun, masalah yang anda tanyakan ini sebenarnya masalah khilafiyah (masih dipertentangkan), namun sebaiknya hal ini jangan anda lakukan. Memang benar apa yang telah anda dengar tentang pendapat tersebut, tetapi yang harus anda ingat bahwa yang dibayangkan adalah keshalehannya atau keilmuannya. Artinya, mudah-mudahan kalau dikaruniai anak bisa meniru keshalehan atau keilmuan orang yang dibayangkan tersebut.

Maraji': Khasatus Sarwani juz. 7, hal. 215, Asybah wannadhoir.

4. Seberapa diperbolehkan wanita-wanita muda itu ikut jamaah sholat Idul Fitri?

Jawaban:

Pada dasarnya mengerjakan sholat Idul Fitri atau Idul Adha secara berjamaah di masjid itu disunnahkan karena kemuliaan masjid tersebut. Dan jika masjid tidak bisa menampung jumlah jamaah maka disunnahkan melaksanakan sholat jamaah Idul Fitri atau Idul Adha di lapangan. (Lihat Minhajil Qawim, bab Sholat ‘idain)

Tapi, bagi wanita-wanita sebaiknya (disunnahkan) melaksanakan sholat Id di rumah secara berjamaah dengan imam salah satu dari wanita-wanita tersebut, lelaki mahramnya atau anak kecil yang mumayyiz. (Lihat Fatawaa An Nawawi bab I)

Fenomena saat ini yang sudah mentradisi bahwa siapa pun termasuk wanita-wanita muda -bahkan dengan dandanan yang paling cantik plus tidak ketinggalan perhiasan dan wangi-wangian- ikut melakukan sholat jamaah Id di masjid atau di lapangan itu sesuatu yang tidak bisa kita pungkiri. Sebaiknya kita, khususnya kaum wanita mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut dalam aspek hukum, sebagai berikut:

1. Wanita tua, tidak cantik, tidak suka bersolek, tidak memakai wangi-wangian dan aman dari fitnah, hukumnya sunnah melakukan sholat Id di masjid

2. Wanita tua yang memakai wangi-wangian atau bersolek, hukumnya makruh melakukan sholat Id di masjid

3. Wanita cantik dan suka bersolek tapi tidak berpakaian bagus dan tidak memakai wangi-wangian serta dihawatirkan timbulnya fitnah, hukumnya makruh melakukan sholat Id di masjid

4. Wanita cantik dan suka bersolek dengan pakian bagus dan memakai wangi-wangian atau diduga terjadi fitnah, atau tidak seizin suaminya, maka hukumnya haram melakukan sholat Id di masjid. (Lihat bujairimi wahab)

Maraji’: (Minhajil Qawim, Fatawaa An Nawawi, Bujairimi Wahab)

5. Saya pernah mendengar keterangan bahwa seorang wali yang telah mewakilkan kepada orang lain (wakil) untuk menikahkan anaknya itu tidak boleh datang dalam majlis akad, karena dalam majlis itu tidak dibenarkan adanya orang yang mewakilkan (muwakkil) dan wakil. Mohon klarifikasinya.

Jawaban:

Seorang wali itu diperbolehkan menikahkan sendiri anaknya atau mewakilkannya kepada orang lain, misalnya kepada kiai, sebagaimana yang berlaku di lingkungan kita. Mengenai kehadiran si wali yang sudah mewakilkan untuk menikahkan anaknya kepada si wakil itu sebenarnya tidak ada larangan. Artinya kehadiran wali atau muwakkil (orang yang mewakilkan) dan wakil (orang yang menjadi wakil) dalam majlis akad itu tetap dibenarkan. Yang tidak diperbolehkan itu jika kehadiran si wali ikut menjadi salah satu dari dua orang yang menjadi saksi akad nikah tersebut, sebab jika demikian maka akad nikah itu tidak sah.

Maraji’: (al Bajuri, juz II, hal. 102)

2 komentar:

  1. assalamu alaikum saya punya pertanyaan sahkah kedua mempelai menikah jika maskawinnya belum lunas atau ngutang mohon penjelasannya terimakasih wassalamu alaikum

    BalasHapus
  2. assalamu alaikum saya punya pertanyaan sahkah kedua mempelai menikah jika maskawinnya belum lunas atau ngutang mohon penjelasannya terimakasih wassalamu alaikum

    BalasHapus